RIWAYAT HIDUP, PERJUANGAN DAN AKHIR HAYAT MOHAMAD DZAINAL ABIDIN
RIWAYAT HIDUP, PERJUANGAN
DAN AKHIR HAYAT MOHAMAD
DZAINAL ABIDIN
Di Negeri Tinggi, Rantau Binuang Sakti, termasuk wilayah Rokan-Hilir sekarang ( Ket: Rantau Binuang sakti saat ini adalah nama Desa di kecamatan kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu - Riau berbatasan dengan desa Air Hitan Kecamatan Pujut rpkan Hilir - Riau ), seorang laki-laki bertubuh tegap, ganteng, dan berkumis, tinggi bagaikan orang keturunan Eropa, lahir pada tanggal 29 Agustus 1854 diberi nama Mohamad Dzaenal Abidin. Ayahnya bernama Abdul Wahid dan ibu kandungnya dipanggil Siti" Salinah. Kisah kelahirannya menurut tutur yang berkembang di tengah masyarakat dalam situasi malam mendung, bumi diguyur hujan terus-menerus, deras, terlihat sambaran kilat, terdengar dentuman guruh sekali-sekali mengiringi lahirnya seorang putra bernama Dzainal Abidin dengan sehat walafiat tanpa ada kekurangan apapun.
Dari hari ke hari Dzainal Abidin kecil gemar bergaul dengan teman sebayanya. Saat-saat menjelang sore hari ia suka mengumpulkan teman-teman sebayanya untuk latihan perang-perangan. Selesai bermain perang-perangan itu barulah mereka mandi ditepi sungai Sosah. Pada malam hari Dzainal Abidin dan kawan-kawannya belajar mengaji untuk menambah pengetahuan dibidang Ilmu Agama Islam.
Pada usia 14 tahun Dzainal Abidin dibawa ayahnya ke Malaka dan terus ke Kampung Kedah untuk melanjutkan Pendidikan Agama Islam selama 10 tahun sampai menyelesaikan pelajaran agama tersebut. Setelah tamat belajar dia kembali ke Danau Runda Rantau Binuang Sakti. Kemudian ayahnya Abdul Wahid menyarankan dan membawanya ke Rokan Hilir yaitu di Tanah Putih sampai ke Bagan Siapiapi, Pulau Lalang. Di daerah-daerah tersebut diupayakan menyebarkan ilmu pendidikan Islam. Pada masa itu kerajaan Danau Runda Rantau Binuang Sakti yang dipimpin Sultan Abdul Wahid telah memperluas daerah kekuasaannya sampai Bagan Siapiapi, Pulau Lalang. Akibat dari politik adu domba Belanda terjadilah konflik antara Sultan Abdul Wahid dan Sultan Siak tentang kekuasaan wilayah di daerah Kondisi ini mempengaruhi sikap, Dzainal Abidin sermkin membenci tentara Belanda.
Pada usia 35 tahun sejak 1889 (setelah mendampingi ayahnya dalam perang Mondang Komango 1887-1889) Dzainal Abidin dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya Abdul Wahid. Untuk memperkokoh keyakinan Abdul Wahid, ia meminta pertimbangan kepada Pak Cik nya, Sultan Kahar agar Mohamad Dzainal Abidin dapat dinobatkan menjadi Sultan XVI Kerajaan Tambusai. Permohonan itu dikabulkan oleh Sultan Abdul Kahar.
Semasa hidupnya, Dzainal Abidin didampingi enam saudara laki-laki dan 5 perempuan. Anak-anak dari saudaranya inilah yang ikut membantu perjuangannya melawan Belanda. Kedekatan kemenakan dengan Dzainal Abidin tidak diragukan lagi, karena mereka itu telah diangkat menjadi anak.
Kekuasaan Dzainal Abidin didukung oleh keluarga besarnya terutama dari saudara-saudaranya dan putranya sendiri. Keluarga besar yang mendukung perjuangannya itu adalah:
- Saudara tertua Mohamad Zainal Abidin (perempuan) menikah dengan Sutan Jumadil Alam, tinggal di Dalu-Dalu. la mengangkat anak-anak Sutan Jumadil Alam 5 orang, yakni 4 anak laki-laki. Kedua termuda berusia 14 dan 12 tahun. Satu perempuan, menikah dengan putra kakak perempuan Mohamad Dzainal Abidin, sementara yang lainnya bernama Sigung gelar Sutan Dzainal saat berusia 19 tahun telah meninggal dunia.
- Ada pula saudara perempuan (kakak) Mohamad Dzainal Abidin juga telah meninggal dunia tapi mempunyai 3 orang anak. Dua anak laki-laki, Sigunung bergelar Sutan Dzainal, umur 19 tahun, menikah dengan anak perempuan Sutan Jumadil Alam. Saudaranya yang satu lagi (laki-laki) Si Maun (19 th) menikah dengan putri bungsu Sutan Badullah. putra Raja Nikoon dari Rambah dan ketiga perempuan. Mereka itu semua sejak kecil telah diangkat anak oleh Mohamad Dzainal Abidin.
- Kakak laki-laki Mohamad Dzainal Abidin bernama Yang Dipertuan Saleh menikah dengan kakak perempuan Sutan Jumadil Alam dari Dalu-dalu. Dari perkawinan mereka menurunkan seorang putera bernama Si Kenik dan seorang putri. Si Kenik gelar Tuanku Maharaja Lela, ketika berumur 18 tahun menikah dengan putri Tuanku Muda Sahak dan memilih tinggal di Sintung.
- Kakak perempuan Mohamad Dzainal Abidin yang lain (tidak disebut namanya) menikah dengan Tuanku Muda Sahak dari Kapanuhan. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yakni 3 laki-laki dan seorang perempuan yang kemudian hari menikah dengan Si Kenik putra Yang Dipertuan Saleh yang telah disebutkan di atas.
- Kakak perempuan lainnya mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Tempeng terkenal dengan gelar Tuanku Haji Abdul Murad. la tinggal di Tanah Putih.
- Ada pula yang bergelar Permaisuri, kakak perempuan Mohamad Dzainal Abidin, menikah dengan Muhammad Silung gelar Sutan Mansur alias Tuanku Haji Ahmad. Mereka tidak punya anak.
- Isteri Mohamad Dzainal Abidin adalah kakak Mohammad Silung gelar Sutan Mansur alias Tuanku Haji Ahmad. Dari perkawinannya dikaruniai seorang putri. Selain itu mereka mengangkat anak (anak angkat) dari kakak perempuan, termasuk anak Yang Dipertuan Saleh, karena isterinya telah terlebih dahulu dipanggil menghadap Illahi Rabbi. Anak dari Yang Dipertuan Saleh yang dijadikan anak angkat itu adalah Si Gunung gelar Sutan Dzainal (19 tahun) menikah dengan putri Jumadil Alam. Si Ma'un (18 tahun) menikah dengan putri bungsu Sutan Badullah, putra Raja Nikoon dari Rambah dan seorang perempuan tidak luput menjadi anak angkat Mohamad Dzainal Abidin.
Keluarga besar ini sangat men-support untuk tegaknya kekuasaan Mohamad Dzainal Abidin di Tambusai. Mereka mempunyai konstribusi dalam perjuangan yang dibangun Mohammad Dzainal Abidin sesuai dcngan kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Pada tahun 1901 Dzainal Abidin menunaikan ibadah haji ke Mekah dan kemudian meneruskan perjalanan ke Turki untuk meminta legitimasi dan bantuan dalam menghadapi Belanda. Sebelum kembali ke kampung asal terlebih dahulu ia singgah di Perak, Malaysia, untuk memperdalam ilmu agama sehingga ia termasuk seorang yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang bersifat global. Di samping itu sekaligus mengamati sepak terjang Kolonial Belanda di Wilayah Sumatera khususnya Rokan.
Pada tahun 1902, Dzainal Abidin mulai menyusun perjuangan untuk menguasai wilayah Rokan yang sebelumnya telah dikuasai Kerajaan Siak Sri Indrapura. Rantau Kasai awal terdiri dari beberapa perkampungan, tetapi setelah menjadi pusat kekuasaan terdapatlah kampung-kampung antara lain Kampung Rimba Tikamiang, Kampung Manggis Tobal, Kampung Tongah, Kampung Sekaki, dan Kampung Kuniang. Orang-orang yang ikut membantu perjuangan Mohamad Dzainal Abidin dapat diketahui dengan ditemukannya makam-makam para ulama yang terdapat di beberapa kampung antara lain Datuk Merah Matuo, Syaldi Said Abdurrahman, T. Abdullah, Kh. Abbas, Gowak Gompuo, Sutan Jena, Datuk Hulubalang, Datuk Rambai dan Datuk Kancil (Dua terakhir terdapat di Kecamatan Kubu).
Dari tahun ke tahun ia mengatur strategi memperkuat pertahanan dan ketahanan dalam menghadapi intervensi Belanda di Rokan. Perjuangan itu berlangsung sampai tahun 1904 bertepatan dengan ditangkapnya Dzainal Abidin tanggal 5 Juli 1904. Beliau kemudian dibawa ke Medan untuk diinterogasi guna mempertanggungjawabkan perjuangannya melawan Belanda yang selama ini telah menimbulkan antipati Belanda terhadapnya.
Setelah ada komunikasi dan korespodensi antara Residen Sumatera Timur dengan Residen Madiun tentang status tahanan Mohamad Dzainal Abidin, diambil keputusan bahwa ia dibawa dari Medan dengan kapal laut ke Batavia dan kemudian dengan kereta api sampai di Madiun. Di sana beliau dimasukan dalam penjara.
Rumah tahanan sebagai rumah singgah Mohamad Dzainal Abidin terletak di daerah Pengangongan, Madiun. Melihat kondisi fisik bangunannya kini dapat memberi gambaran bahwa dahulu cukup kokoh dan layak sebagai rumah tahanan. Dinding luar terdiri dari tembok kekar, tinggi sekitar 6 meter pada areal 50 x 50 m, terdiri atas 3 gedung utama dan satu untuk perkantoran. Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tahanan dibagi menjadi tiga kelas; ada kelas satu, kelas dua dan kelas tiga.
Mohamad Dzainal Abidin, seorang raja, tergolong sebagai tahanan kelas satu. la ditempatkan pada ruangan khusus. Ruangan tersebut hanya terdapat tiga pintu. Salah satu dari dua pintu itulah tempat Mohammad Dzainal Abidin. Ruangan itu terletak pada bagian sudut sebelah timur, berukuran 1.5 m x 9 m. Pada 4.5 m bagian depan sebagai tempat tahanan dan 4.5 bagian belakang dipergunakan untuk tempat masak, kamar mandi dan lainnya sebagaimana layaknya sebuah rumah. Pintu dan jendela serta bagian atas (internit) terpasang jeraji besi, sehingga tidak ada kemungkinan siapapun yang telah masuk ruangan itu untuk dapat melarikan diri.
Selama dalam penantian menjalani vonis 1 tahun, Mohamad Dzainal Abidin memiliki reputasi, dedikasi dan kualitas tinggi, baik terhadap pemerintah Belanda maupun sama kawan senasib sepenanggungan dalam penjara. Ia memiliki tingkah laku yang tidak pernah bertentangan dengan peraturan yang diterapkan dalam penjara. Bertutur sopan dan ramah bahasa jika berkomunikasi sesama teman. Hanya saja ada kesulitan yang dirasakan beliau jika berbicara dengan kawan yang berasal dari suku lain, tidak dapat berkomunikasi dengan baik, karena ia tidak menguasa beragam bahasa. Meskipun demikian, bahasa Melayu tetap dijadikan sebagai bahasa lingua franca karena penghuni rumah tahanan itu terdiri dari berbagai suku dan datang dari berbagai daerah misalnya Medan, Jawa Barat, sekitar Pulau Jawa dan daerah lainnya, karena banyak keluarga tahanan tempo dulu kini datang berziarah ke rumah tahanan ini.
Setahun telah berlalu menjalani vonis. Berita baru keluar dari penjara tidak kunjung datang. Mohamad Dzainal Abidin mejalani penantian sampai 9 tahun putusan apakah yang harus diterima, tidak jelas. Ini semua karena kelicikan dan kekhawatiran Belanda atas sikap politik beliau. Berbagai upaya yang dilakukan, mulai dari keinginan pindah ke Surabaya sampai ingin kembali ke kampung asal, Rokan, tidak diizinkan Belanda, karena dikenal di kalangan Belanda sebagai Tiger van Rokan (Harimau dari Rokan). Bahkan simbol kegagahan dan keberanian Sang Raja di kalangan masyarakat Kubu di Kecamatan Kubu, Rokan Hilir sengaja dipampangkan dua symbol, yakni Singa dan Buaya sebagai perwujudan kemampuan raja di darat dan di laut.
Pada tahun ke-9 di penjara Madiun, datanglah menjenguk sang isteri didampingi tiga anaknya. Itu pula sebabnya Mohamad Dzainal Abidin memohon kepada Belanda agar diperkenankan keluarganya menetap di Madiun dan menambah biaya hidup dari 25 gulden menjadi 50 gulden seperti halnya masa tahun pertama ditahan. Belanda tidak mengabulkan permintaan itu. Kecuali kedua putranya yang boleh menetap di Madiun, sementara istri dan anaknya yang perempuan harus kembali ke Rantau Kasai.
Hidup dan kehidupan Mohamad Dzainal Abidin berjalan terus dari tahun ke tahun selama 12 tahun hingga beliau wafat tanggal 5 September 1916 di Desa Panggungan, dekat desa Barat tidak jauh dari kebun tebu rakyat (kini) dalam kecamatan Maospati, Madiun, Jawa Timur.
Upaya Belanda untuk menghilangkan jejak dan pengaruh Mohamad Dzainal Abidin, kuburannya ditempatkan di Kediri, desa Mbesuk (busai= Tambusai), sekarang Desa Toyoresmi. Di sana di kenal sebagai Syekh Zainal Abidin yang datang dari Barat atau disebut juga Mbah Kabul. Menurut penuturan Mbah Dahlan umur 100 tahun, tutup usia 15 tahun yang lalu (1991) menceritakan kepada cucunya, kini sebagai kuncen makam almarhum, bahwa almarhum dikenal sebagai Wong Pesakitan londo teko kulon.
Sampai akhir hayatnya, Mohamad Dzainal Abidin berjuang mendermabaktikan jasa dan pengorbanannya dengan tindak kepahlawanan untuk membela nusa dan bangsa, khususnya wilayah Rokan dari belenggu kolonial Belanda. Dalam akhir hayatnya sedikitpun tidak ternoda suatu tindak atau perbuatan yang menyebabkan menjadi cacat nilai perjuangan. berjuang dan berkorban adalah suatu sikap yang telah melekat pada diri beliau. Sikap itu sungguh sangat diketahui masyarakat, khususnya masyarakat Rantau Kasai. Karena itu nama almarhum tetap harum di tengah masyarakat. Sebaliknya membuat khawatir dan cemas di Belanda, karena dimungkinkan terjadi perlawanan di berbagai kampung dalam sebagai perwujudan rasa simpati mereka terhadap Mohamad Dzainal Abidin.
Kisah Pencarian makam Sultan Zainal Abidin pernah dilakukan oleh almarhum Tengku Muhammad (dari Rokan) tahun 1969 langsung ke Pemakaman Taman di depan alun-alun Madiun dan beberapa lokasi makam lainnya di Madiun, namun tidak berhasil. Haji Tengku Syamsul Makmur S. Sos, putera ke-8 dari almarhum H. Tengku Uyas (Gelar Tengku Sulung) menerima pesan dari kedua orang tuanya sebelum mereka meninggal dunia supaya H. Tengku Syamsul Makmur mencari makam moyangnya yang bernama sultan mangkat di Madiun.
Banyak cerita yang disampaikan oleh kedua orang tua Tengku Samsul Makmur mengenai Sultan Mangkat di Madiun. Karena amanah dari kedua orang tua yang wajib dilakukannya, maka awal tahun 2002, setelah mempunyai banyak waktu, mulailah Tengku Syamsul Makmur melakukan pencarian informasi mengenai Sultan Mangkat Madiun. Informasi yang diperoleh dari berbagai nara sumber di Dalu-Dalu, Rantau Kasai, dan tempat lainnya ditulis kronologis berikut :
- April 2002 pencarian data melalui Arsip Nasional RI di Jakarta, nama Sultan/Tengku Zainal Abidin ditemukan dalam Arsip Nasional. Karena tulisannya halus dan kabur dimakan waktu dan berbahasa Belanda sehingga tidak terbaca.
- Pencarian dilanjutkan ke Madiun melalui Kantor Urusan Purbakala Depdikbud Madiun (Dra. Listiyani, Darmo, dan Sutrisno). Data mengenai Sultan Zainal Abidin tidak ada dalam arsip mereka. Sesuai saran dari kantor Urusan Purbakala Depdikbud Madiun pencarian makam diteruskan ke lokasi Makam Taman di Madiun, kemudian makam Alim Ulama/Kiyai-Kiyai Pejuang Muslim di Kecamatan Dagangan (Banjarsari) 10 Km arah ke Ponorogo, namun makam Sultan Zainal Abidin belum berhasil ditemukan.
- Pada bulan juli 2002 setelah mendapat berita dari beberapa nara sumber, pencarian makam dilanjutkan dengan mengunjungi beberapa tempat pemakaman di Ponorogo, Magelang, Nganjuk. Makam Sultan Zainal Abidin tidak ditemukan pula.
- Pada bulan Oktober 2002 dilanjutkan pencarian makam ke Magelang berdasarkan informasi yang diperoleh dari Saudara Rudi mantan supir sewaktu bertemu dengannya di Warung As'ar di Dalu-Dalu pada tanggal 12 Oktober 2002. Saudara Rudi mengatakan bahwa kira-kira 6 Km sebelum masuk kota Magelang Saudara Rudi pernah melihat tulisan nama kampung/ nama jalan "Tambusai". Mungkin saja nama kampung/jalan "Tambusai" tersebut ada kaitannya dengan Sultan Zainal Abidin. Setelah menemui pejabat kantor Bupati Magelang ditanyakan hal tersebut, mereka mengatakan di Kabupaten Magelang tidak ada nama kampung dan jalan Tambusai. Makam Sultan Zainal Abidin belum juga berhasil ditemukan.
- Pada Bulan Desember 2002 pencarian makam dilanjurkan ke Kediri Jawa Timur, setelah memperoleh informasi yang lebih mengkristal dari salah seorang teman Ir. Adi. B (Putera dari Tengku Taufick Iljas). Kata teman Ir. Adi. B tersebut bahwa di daerahnya di Kediri ada makam Zainal Abidin yang sudah dikenal oleh masyarakat Kediri. Tanggal 26 Desember 2002 mengunjungi lokasi makam sesuai informasi dari teman Ir. Adi. B dan makam Sultan Zainal Abidin berhasil ditemukan di Pesa Toyoresmi, Kecamatan Gempengrejo, Jl. Pemenang Kabupaten Kediri - Jawa Timur.
Keterangan yang diperoleh langsung dari Kyai Imam dan Pak Sulis (pengurus makam) dapat dicatat sebagai berikut:
- Makam Sultan Zainal Abidin ditemukan oleh almarhum Kyai Sotik, almarhum Kyai Dolah dan Kyai Imam Murohidin (Masih Hidup) pada tahun 1963. Menurut taksiran Kyai yang menemukan makam Sultan Zainal Abidin, umur makam waktu ditemukan betumur kira-kira 46 tahun. Menurut Kyai Imam, makam Zainal Abidin yang ada di Dusun Besuk Desa Toyoresmi, Kecamatan Gampengrejo hanyalah satu-satunya makam Zainal Abidin di Jawa Timur, tidak ada lagi makam Zainal Abidin Lainnya. Makam Zainal Abidin termasuk 210 makam syuhada yang ditemukan oleh masyarakat Jawa Timur, Makam baru dipugar pada tahun 2000. Zainal Abidin bukan orang Jawa, beliau adalah orang pendatang, karena itu kuburannya pada waktu itu tidak diketahui orang banyak. Zainal Abidin berasal dari Arab, pernah tinggal di Johor/Malaysia, pernah di Riau/ Sumatera dan di Madiun. Zainal Abidin adalah orang alim/ulama semasa hidupnya, di Madiun Zainal Abidin bersama santrinya berjuang melawan Kolonial Belanda. Karena Belanda terus menerus mengejar Zainal Abidin maka Zainal Abidin bersama santrinya terpaksa meninggalkan Madiun menyingkir ke Gresik/Sedayu. Di Geresik/Sedayu beliau masih terus dikejar-kejar Belanda dan akhirnya secara diam-diam menetap di Desa Toyoresmi, Kecamatan Kampengrejo Kediri.
- Masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Kediri sangat menghormati makam Zainal Abidin tersebut. Banyak pengunjung dari sekitar Jawa Timur datang berziarah, bahkan juga pernah datang penziarah dari Malaysia. Air sumur bor yang terletak disebelah makam, airnya jernih dan langsung bisa diminum. Air sumur tidak pernah kering walaupun dalam musim kemarau panjang, banyak Penziarah mempercayai bahwa. air sumur bor tersebut bermanfaat juga sebagai obat. Pada hari-hari besar Islam banyak penziarah datang berziarah ke makam (pernah sampai 1000 penziarah). Setiap malam Jum'at dan Sabtu Mesjid Makam dijadikan tempat Sholat Istigosah, Kyai-Kyai dari Ponpes Kapu bergantian datang ke mesjid makam memberikan ceramah agama kepada penziarah.
- Masyarakat memberi beberapa nama pada makam tersebut. Akhirnya hasil musyawarah Kiyai Ponpes Kapu, nama makam dikembalikan kepada nama asli isi kubur (Zainal Abidin), untuk menghilangkan pro dan kontra masyarakat setempat, (Kyai Imam adalah keturunan santri/Kyai-Kyai lama yang mempunyai kelebihan bisa berhubungan dengan arwah-arwah kubur).
Gaung makam almarhum tidak saja dalam wilayah Kediri, tetapi banyak orang datang ziarah dari Surabaya, Jawa tengah, Nangro Aceh Darussalam, Pekanbaru, dan Yogyakarta menyampaikan do'a dan memohon sebagai wasilah mengahajat yang dikehendaki. Dan, ini berjalan hingga sekarang.
Sumber : Buku Suktan Dzainal Abidin Menentang Kolonial Belanda di rokan - Riau - Indonesia 1887 - 1926
No comments:
Post a Comment