BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Indonesia
adalah bangsa yang direkayasa dan diciptakan sedemikian rupa oleh sistem
ketidakadilan yang berupa penjajahan, karenanya Indonesia adalah kolektifitas
di mana individu bisa hidup (dan berharap untuk hidup) dengan berbagai
kepentingan, bangsa, agama, dan ideologinya. Dengan demikian, jika ada sebuah
pemerintahan yang diatur berdasarkan kedzaliman politik, tentu ia adalah
pemerintahan yang tidak acceptable oleh rakyatnya. Orde Baru adalah misal
dengan sentralisasi rezim dan kekejaman cara memerintahnya, kalaupun toh ia
berumur panjang, pastilah ia akan menemui ajalnya juga (dengan tak terhormat).
Karena itu, demokrasi di Indonesia menjadi sebuah barang yang mesti ditegakkan
dengan segala resikonya, termasuk kealotan penyelesaian persoalan bangsa, ketidakefektifan,
keruwetan dan sebagainya. Mau tidak mau, demokrasi menjadi pilihan tak tertolak
bagi pemerintahan dewasa ini. Dalam situasi di mana segenap persoalan bangsa
meluap dan minta segera diselesaikan, maka konsep demokrasi sesungguhnya
merupakan konsep yang paling tidak diminati.
Di
samping terlalu bertele-tele, tidak efektif dan tidak efisien, demokrasi juga
terlalu banyak menyita waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk memikirkan
masalah yang lebih urgen lagi. Di sinilah titik nadzir yang paling lemah dari
demokrasi. Semua orang dan semua bangsa mengakuinya. Namun kita lantas
bertanya, mengapa demokrasi menjadi satu-satunya konsep yang dipilih hampir
seluruh bangsa di dunia ini untuk menyelesaikan berbagai macam persoalannya?
Untuk bisa sampai pada jawaban pertanyaan ini, maka satu hal yang mesti kita
sadari bahwa alam ini memang sudah ditakdirkan Tuhan untuk tidak sama.
Pluralitas suku-bangsa, pluralitas kepentingan, pluralitas ideologi, pluralitas
agama dan pelbagai macam ketidaksamaan yang lain adalah conditio sine qua non.
Kondisi inilah yang menginginkan masyarakat dunia untuk segera merombak cara
berpikir yang sentralistis, cara berpikir yang otoriter dan semaunya sendiri.
Untuk menciptakan demokrasi, tentu tidak hanya melalui jalur kultural seperti
paparan di atas, di jalur struktural pun jika kita jujur dan teliti,
sesungguhnya ada jalur untuk menciptakan demokrasi itu.
Tata
bangsa yang sehat dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah sesuatu
yang pasti dari prinsip good governance ini, dan tentu saja merupakan sesuatu
yang sangat dirindukan masyarakat Indonesia. Terpilihnya pemimpin-pemimpin baru
merupakan bagian dari kehendak rakyat yang menginginkan terciptanya hal itu.
Perdebatan yang sangat sengit ini paling tidak sudah dilakukan di sidang
majelis kita selama sepekan kemarin. Dari upaya bagaimana melakukan amandemen
UUD 1945 sampai pada tata pemilihan yang demokratis. Harapan-harapan rakyat
adalah bagaimana agar mereka bisa hidup lebih sejahtera secara ekonomi maupun
politik. Secara ekonomi, rakyat Indonesia menginginkan kenaikan pendapatan
perkapita, harga-harga kebutuhan pokok (merit goods) yang tidak mahal,
berkurangnya angka kemiskinan, turunnya inflasi dan berbagai indikasi
kemakmuran lainnya. Secara politik, rakyat berkehendak agar demokrasi bisa
berjalan sebagaimana mestinya: menghargai hak menyampaikan pendapat,
menghormati hak asasi manusia, bebas berkreasi dan berorganisasi, dan
penghargaan-penghargaan terhadap kebebasan berpendapat lainnya. Sebagai
manifestasi dari harapan dan aspirasi rakyat banyak, terpilihnya mereka (yang
dianggap reformis) tersebut tentu saja diiringi oleh berbagai agenda bangsa
yang mendesak dan berat.
Di
sisi ekonomi, keduanya diharapkan agar mampu mengembalikan kepercayaan (trust)
terhadap investasi, juga untuk mencegah dan mengantisipasi capital flight.
Kepercayaan ini merupakan modal yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi
Indonesia masa depan. Kita tahu bahwa untuk mengembalikan kepercayaan yang
hilang, tidak hanya dibutuhkan sosok pemimpin yang tegar, berwibawa dan
dikehendaki rakyat, tapi juga sosok yang mampu berkomunikasi dengan baik di
dunia internasional. Bersikap
jujur pada rakyat adalah titik tolak untuk menciptakan pemerintahan yang tidak
hanya kuat (stong government), melainkan juga pemerintahan yang bersih dan
berwibawa (good governance). Dengan kesadaran baru, Indonesia masa depan harus
dibangun dengan mentalitas dan budaya berdemokrasi yang baru pula. Sehingga
agenda mendesak pemerintahan kali ini adalah untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Tentu saja bertanggung jawab
pada rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
b. Otonomi daerah
Kebijaksanaan
pemerintah pusat yang selama ini mengesankan adanya sistem pemerintahan dan
pembangunan yang sentralistik, pada dasarnya adalah faktor penjelas
berkembangnya keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari wilayah
NKRI. dampak dari
reformasi total ini, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah
terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak
sentralistik ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik. Apa yang
digambarkan tersebut, tentu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Kepemimpinan
politik dan pemerintahan yang dijalankan secara sentralistik oleh rezim Orde
Baru adalah cikal bakal bagi terselenggaranya sistem pemerintahan yang tidak
memberi kesempatan kepada daerah untuk maju dan berkembang. Dalam tataran
reformasi, maka wajar bila terjadi perubahan pada salah satu substansi dari
sistem pemerintahan sentralistik itu.
Berkembangnya
wacana tentang perlunya memikirkan kembali desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di Indonesia, dianggap relevan bukan hanya karena
faktor reformasi semata. Jika kita merujuk kepada aturan main yang tertuang
dalam konstitusi (UUD 1945), jelas bisa ditemukan bahwa desentralisasi tidak
cuma konsep yang bersifat politis, tapi juga konsep yang anti-sentralistik. Hal
inilah yang pada akhirnya membawa kita pada sebuah kesepakatan untuk
merealisasikannya dalam wujud otonomi daerah. Berangkat dari argumen bahwa
masalah otonomi adalah masalah masyarakat, perilaku hidup, perilaku aspirasi
masyarakat setempat, maka apa yang dinamakan sebagai ketegangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah semestinya bukan lagi merupakan
fenomena politik yang menarik. Sebagai wujud nyata dari konsep desentralisasi,
otonomi daerah adalah topik utama yang wajib dibicarakan dan diimplementasikan
sedini mungkin.
Mengakhiri
ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tampaknya bukan
hanya telah menemukan ruang yang tepat, tapi juga sekaligus menjadikannya
sebagai kenangan politis masa lalu yang perlu dicatat oleh sejarah. Karakter
hubungan antara pusat dan daerah yang terjadi ketika Orde Baru berkuasa,
sangatlah miris. Pada saat itu, pemerintah pusat adalah segala-galanya dan
memiliki berbagai senjata untuk mengebiri pemerintah daerah. Dalam pandangan
Pratikno, sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok
kecil elit di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem
politik otoritarian tersebut. Walaupun beberapa penjelasan lain memberikan
kesimpulan yang tidak jauh berbeda, karakter ini jelas tidak dapat dibantah
lagi kebenarannya. Otonomi daerah yang digembar-gemborkan Orba, kenyataannya
belum diikuti political will para aktor pelaksananya.
Semangat
inilah yang mengongkritkan implementasi otonomi daerah di era reformasi ini,
dan selayaknya harus mendapatkan dukungan yang memadai. Lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah,8 adalah bukti masih terdapatnya semangat yang kuat dan idealisme yang tinggi dari para
penyelenggara negara untuk tidak sekedar mengurusi kekuasaannya semata. Di sisi lain dominasi pemerintah pusat yang selalu
berhasil dalam mempolitisasi otonomi daerah, diyakini atau tidak, merupakan
salah satu sebab belum terealisasinya otonomi daerah secara empirik. Upaya
untuk mewujudkan otonomi bagi daerah dalam rangka negara kesatuan sedikit banyak
ditentukan oleh “political configuration” pada suatu kurun waktu, menunjukkan
betapa kuatnya posisi politik pemerintah pusat dalam mengendalikan jalannya
pemerintahan secara nasional.
Dalam
pemikiran lain yang lebih praktis, Kimura Hirotsune menjelaskan tentang
munculnya dua persepsi yang berlawanan tentang otonomi daerah. Pertama, di satu
sisi, otonomi daerah dianggap akan memenuhi kebutuhan daerah yang selama ini
mengalami kekecewaan akibat praktek sentralisasi kekuasaan birokrasi yang
opresif selama masa 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto. Kedua, pada sisi
yang lain, otonomi daerah justru sebaliknya dianggap akan membangkitkan
semangat separatisme sehingga bila tidak bisa terkendalikan maka akan
mengakibatkan krisis politik nasional. Ungkapan bernada pesimis ini tentu
bukan tanpa alasan mendasar. Pertama, konfigurasi politik di suatu negara yang
tengah menuju demokrasi, hampir selalu didominasi oleh sifat kepemimpinan yang
otoriter. Akibatnya, stabilitas politik dan ekonomi tampak selalu dikedepankan,
yang pada gilirannya menjadikan segala policy pemerintah selalu pasti bersifat
sentralistik. Kedua, konfigurasi politik yang tidak diimbangi oleh adanya
lembaga kontrol yang ketat, menjadikan setiap kebijakan pemerintah pusat selalu
memperoleh pembenaran absolut. Ini berarti, pandangan Afan Gaffar di atas,
membuktikan bahwa “political configuration” benar-benar merupakan faktor yang
sangat menentukan terhadap sukses-tidaknya implementasi otonomi daerah.
Dalam
tataran praktis, pandangan ini memberikan tawaran kepada kita, apakah otonomi
daerah itu merupakan solusi, atau justru sebuah problem. Sebagai konsep yang
sejak diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah sama sekali belum dioperasionalisasikan, jelas otonomi daerah bisa
dikategorikan sebagai sebuah solusi terhadap fenomena penyelenggaraan
pemerintahan yang sentralistik. Tetapi pada saat yang berbeda, yakni dengan
lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah –di mana pemerintah
pusat tengah membiarkan proses demokratisasi berlangsung secara terbuka–, maka
bisa jadi otonomi daerah telah berubah menjadi sebuah problem baru yang perlu
segera dipecahkan. Ada 2 alasan politis yang bisa menjelaskan sosok otonomi
daerah saat ini teramat rentan menjadi sebuah problem besar. Pertama, otonomi
daerah tetap konsekwen dengan keharusan daerah untuk mandiri dalam pengelolaan
sumber daya alam (SDA) dan pendapatan asli daerah (PAD). Permasalahannya adalah
tidak semua daerah
- Desentralisasi Politik
Sentralisme
rezim Orba, dari sudut pandang ekonomi, bisa dibuktikan dari besarnya produksi
sumber daya alam yang mesti disetorkan ke pusat. Sementara dari sisi politik,
sentralisme Indonesia bisa mewujud dalam berbagai macam bentuk; mulai dari
pemaksaan konstitusi sampai pada pemangkasan-pemangkasan hak politik daerah.
Setelah reformasi bergulir, setelah pembusukan sentralisme yang korup berhasil
sedikit demi sedikit diungkap, maka bergaunglah otonomi daerah
(seluas-luasnya). Bahkan sampai pula pada perdebatan tentang bentuk negara,
federasi atau kesatuan. Namun, di sela-sela perdebatan itu kita tentu
menginginkan suatu solusi yang adil. Bisa kita sepakati bahwa munculnya problem
federasi adalah karena sentralisme; yakni ketidakadilan pusat pada daerah. Oleh
karena itu, akar persoalan ini sesungguhnya adalah pada, bagaimana mengatasi
persoalan ketidakadilan secara efektif dan proporsional. Ini dilakukan karena
dalam negara federasi pun, jika sentralisme kekuasaan politik masih diemban
pusat, maka jangan berharap akan ada keadilan.
Otonomi daerah seluas-luasnya mungkin bisa dijadikan
alternatif yang cukup baik untuk mengatasi persoalan itu. Namun tampaknya juga
harus dimengerti bahwa konsep ‘otonomi seluas-luasnya’ sebetulnya hanya konsep
yang diproduksi pemerintah Indonesia. Dalam dunia akademik, tidak pernah
dikenal wacana ‘otonomi seluasluasnya’. Sedangkan kalimat yang paling dekat
dasn representatif untuk mendeskripsikan konsep otonomi seluas-luasnya adalah
devolution atau desentralisasi politik. Istilah ini populer di AS tahun 1994
ketika Richard P. Nathan menjulukinya sebagai Devolution Revolution, meski
substansi sesungguhnya sudah dikenal lebih kurang 2 dekade yang lalu.
Desentralisasi politik yang dimaksud ini adalah bagaimana mendelegasikan
wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui
pemilihan lokal.
Jadi ia adalah kemampuan unit pemerintah yang mandiri
dan independen. Dalam kondisi seperti ini, tentu saja pusat mesti melepas fungsi-fungsi tertentunya untuk
menciptakan unit-unit pemerintahan yang otonom. Statusnya berada di luar
kontrol langsung dari pemerintah pusat. Pemerintahan lokal yang otonom dan mandiri memiliki mensyaratkan hal-hal
seperti berikut, bahwa pemerintah lokal mempunyai teritorium yang jelas,
memiliki status hukum yang kuat untuk mengelola sumberdaya dan mengembangkan
lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen. Ini tentu harus didukung
oleh kebijakan yang menyiratkan bahwa kewenangan pemerintah pusat sangat kecil
dan pengawasan yang dilakukannya lebih bersifat tak langsung.
Denis Rondinelli (1981) mengatakan bahwa
desentralisasi politik adalah peralihan kekuatan ke unit-unit geografis
pemerintah lokal yang terletak di luar struktur komando secara formal dari
pemerintahan pusat. Dengan demikian, desentralisasi politik menyatakan bahwa
konsep-konsep pemisahan, dari berbagai struktur dalam sistem politik secara
keseluruhan. Pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan serta dianggap
sebagai level terpisah yang tidak memperoleh kontrol langsung dari pemerintah pusat.
Pada saat yang sama, pemerintah lokal harus memiliki batas-batas geografis yang
ditetapkan secara hukum dan jelas di mana mereka (unit-unit tersebut)
menerapkan wewenangnya dan melaksanakan fungsi-fungsi publik. Dalam
desentralisasi politik, pemerintah lokal juga harus mencerminkan kebutuhan
untuk menciptakan diri sebagai lembaga.
Pengertiannya adalah bahwa lembaga ini dianggap rakyat
lokal sebagai organisasi yang menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhannya
dan sebagai unit-unit pemerintah yang berpengaruh. Selanjutnya yang harus
diingat adalah bahwa desentralisasi politik merupakan suatu rancangan di mana
terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintah lokal dan
pemerintah pusat. Pemerintah lokal memiliki kemampuan untuk saling berinteraksi
dengan unit-unit yang lain dalam sistem pemerintahan yang merupakan bagiannya.
Desentralisasi politik juga merupakan cara untuk lebih mendekatkan pembangunan pada rakyat yang lebih mengetahui situasi dan kebutuhan mereka sendiri. Sedangkan menurut Lenny Goldberg, Come The Devolution, The American Propect, Winter (1996) agar tujuan itu bisa dicapai adalah dengan:
Desentralisasi politik juga merupakan cara untuk lebih mendekatkan pembangunan pada rakyat yang lebih mengetahui situasi dan kebutuhan mereka sendiri. Sedangkan menurut Lenny Goldberg, Come The Devolution, The American Propect, Winter (1996) agar tujuan itu bisa dicapai adalah dengan:
1.
Mengembalikan
hak-hak sipil dan kebebasan sipil pada rakyat,
2.
Pemerintah
pusat memberikan hak pengelolaan dana pada pemerintah daerah,
3.
Preferensi
dari pusat atas sektor pembangunan harus fleksibel dengan preferensi dari
daerah,
4.
Pemerintah
pusat harus dapat mengembangkan standar-standar baru yang dapat memperkuat
tanpa mendikte.Mengapa demikian? Biasanya pemerintah pusat seringkali tidak
memiliki kepercayaan pada kemampuan pemerintah daerah. Ini bisa ditunjukkan
pada perlakuan terhadap SOP (standart operating procedures), atau di sini lebih
dikenal dengan istilah Juklak/Juknis, yang sangat berlebihan. Realitasnya, Pemerintah
daerah sering tidak dapat segera menjalankan program-program tertentu bila
juklak/juknis belum turun dari pusat.
5.
Berusaha
memberikan kekuasaan kepada rakyat.
Desentralisasi politik dalam konteks operasionalnya
adalah penegakan kedaulatan pada legislatif di daerah atas nama basis
rakyatnya. Parameter dari penegakan ini adalah:
- Political will pemerintah pusat dan derajat transfer kewenangan bagi daerah
- Derajat budaya, perilaku dan sikap yang kondusif bagi pembuatan keputusan dan administrasi yang decentralized
- Kesesuaian kebijakan dan program yang dirancang bagi pembuatan keputusan dan manajemen yang decentralized
- Derajat ketersediaan sumberdaya finansial, manusia dan fisik bagi organisasi yang mengemban tanggung jawab yang diserahkan.
Pada
umumnya sistem nasional dibagi menjadi tiga tingkat dan dua sektor pemerintah
lokal. Ada pusat-pusat nasional, propinsi atau ibukota yang bertindak sebagai
perantara lokal. Lokal dibagi menjadi sektor-sektor pedesaan dan perkotaan
walaupun pembagian seperti itu di banyak negara sekarang sering hanya merupakan
sisa dari pertanian di masa lalu. Dalam beberapa negara,
persyaratan-persyaratan khusus dibuat untuk pemerintahan lokal dari pusat-pusat
perkotaan yang luas. Perkecualian terhadap tiga pola tingkatan adalah sistem
pemerintahan militer, dengan kontrol langsung terhadap lokalitas-lokalitas,
meski dewasa ini sistem pemerintahan militer sudah jarang.
Mawhood
(1987) misalnya secara tegas mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi
kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, the devolution of power
from central to local government. Oleh karenanya dapat dimengerti, bila Mawhood
kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijaksanaan desentralisasi sebagai
upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability, dan local
responsiveness. Di antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan
tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang
jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local
own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu
mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh
masyarakat daerah melalui pemilu. Dengan rumusan definisi dan tujuan
desentralissai seperti dikemukakan di atas, para pendukung political
decentralisasi perspektif percaya bahwa keberadaan kebijaksanaan desentralisasi
akan mampu menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis, atau apa yang
disebut oleh Vincent Ostrom sebagai the features of a system of governance that
would be appropriate to circumstance where people govern rather than presuming
that government govern(1991:6). Argumen dasarnya adalah, dengan konsep tersebut
diasumsikan society akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Sementara, pada sisi lain, pemerintah daerah sendiri,
akan lebih responsif terhadap berbagai tuntutan yang datang dari komunitasnya.
- Definisi Good Governance
Sejak tumbangnya rezim
Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance
begitu popular. Hamper di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut
masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam
pidato-pidato, pejabat Negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good
Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat.
Meskipun kata Good
Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai
kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang
lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja sautu
lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu Negara, perusahaan atau
organisasial masyarakat yang memnuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian
kalangan lain ada yang mengartikan Good Governance sebagai penerjemahan konkret
demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang
sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
Masih banyak lagi
‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh pihak. Seperti yang didefinisikan
oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana
investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework
bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Namun untuk ringkasnya
Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang
baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
Prinsip-prinsip Good Governance
Kunci utama memahami
good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip didalamnya. Bertolak dari
prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan.
Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan
semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini,
prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di
bawah ini:
- Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat
mempunyai suara dalam pengembalian keputusan, baik secara langsung, maupun
melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi
menyeluruh tersebut di bangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
- Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang
menyangkut hak asasi manusia.
- Transparansi
Transparansi dibangun atas dasar arus
informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan
informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi
yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
- Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses
pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
- Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani
kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus
menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan
bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
- Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai
kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
- Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan
lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan
menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
- Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah,
sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik
kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk
pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis
organisasi yang bersangkutan.
- Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan social yang menjadi dasar
bagi perspektif tersebut.
Pilar-pilar Good Governance
Good Governance hanya bermakna bila
keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan public. Jenis
lembaga tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Negara
a.
Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil
b.
Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan
c.
Menyediakan public service yang efektif dan accountable
d.
Menegakkan HAM
e.
Melindungi lingkungan hidup
f.
Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik
- Sektor Swasta
a.
Menjalankan industri
b.
Menciptakan lapangan kerja
c.
Menyediakan insentif bagi karyawan
d.
Meningkatkan standar hidup masyarakat
e.
Memelihara lingkungan hidup
f.
Menaati peraturan
g.
Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat
h.
Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
- Masyarakat Madani
a.
Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi
b.
Mempengaruhi kebijakan public
c.
Sebagai sarana cheks and balances pemerintah
d.
Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
e.
Mengembangkan SDM
f.
Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat
Agenda Good Governance
Good Governance
sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu
pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good governance harus memiliki
agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat
dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan
kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi:
- Agenda Politik
Masalah politik
seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat
terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang
tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan.
Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari
penataan sistem politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan
pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti:
a. Amandemen UUD 1945 sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelengaraan
pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya
good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan
kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan
agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
b.
Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang keormasan yang lebih
menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat.
c.
Reformasi agrarian dan perburuhan
d.
Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI
e.
Penegakan supremasi hukum
- Agenda Ekonomi
Krisis ekonomi bisa
melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu
kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Untuk kasus Indonesia, permasalahan
krisis ekonomi ini telah berlarut-larut dan belum ada tanda-tanda akan segera
berakhir. Kondisi demikian ini tidak boleh dibiarkan berlanjut dan harus segera
ada percepatan pemulihan ekonomi. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi
di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-prioritas kebijakan. Prioritas yang
paling mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:
- Agenda Sosial
Masyarakat yang
berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan
perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan
berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain
itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif
dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.
Sebaliknya, pada
masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan Negara, dan masih banyak timbul
masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat
kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk
mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki
masalah sosial yang sedang dihadapi.
Masalah sosial yang
cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang
disertai kekejaman social luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah
sampai pada titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan
komunal dan keterbuangan sosial dengan segala variannya. Kasus-kasus pergolakan
di Aceh dan Ambon adalah beberapa contoh dari masalah sosial yang harus segera
mendapatkan solusi yang memadai.
Oleh karena itu
masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap
daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap
kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka
yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian vertical maupun
horizontal yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan
mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.
- Agenda Hukum
hukum
merupakan factor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau
kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan
secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governance tidak akan berjalan mulus
di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistem hukum atau
reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
Sementara
itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena
hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak
keadilan. Kenyataan demikian ini yang membuat ketidakpercayaan dan
ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.
Untuk
memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka
mewujudkan good governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis.
Langkah-langkah tersebut adalah:
a. Reformasi
Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tat penyelenggaran Negara. Untuk
menata kembali sistem hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi
yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.
b.
Penegakan Hukum Syarat mutlak pemulihan
kepercayaan rakyat terhadap hukum adalah penegakan hukum. Reformasi di bidang
penegakkan hukum yang bersifat strategis dan mendesak untuk dilakukan adalah;
pertama, reformasi Mahkamah Agung dengn memperbaiki sistem rekrutmen
(pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan yang lebih menekankan
aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Perbaikan sebagaimana tersebut di
atas harus dilakukan oleh Komisi Yudisial Independen yang anggotanya terdiri
dari mantan hakim agung, kalangan praktisi hukum, akademisi/cendekiawan hukum
dan tokoh masyarakat. Kedua, reformasi Kejaksaan, untuk memulihkan kinerja
kejaksaan saat ini khususnya dalam menangani kasus-kasus KKN san pelanggaran
HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung dan pembantunya
sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadi yang bersangkutan. Selain
itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen
Pengawas Kejaksaan.
c. Pemberantasan
KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk
memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah
(preventif) kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan
dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open
government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati
perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketigahak di atas tidak
dipenuhi secara memadai.
Sedangkan upaya
penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat
pembentukan Badan Independent Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan
dan penuntutan kasus-kasus korupsi, memperkenalkan hakim-hakim khusus ysng
diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hoek) dan memperlakukan asas
pembuktian terbalik secara penuh.
d. Sumbangan
Hukum dalam Mencegah dan Menanggulangi Disintegarsi Bangsa Pengakuan identitas
terhadap nilai-nilai local, pemberian kewenangan dan representasi yang lebih
luas kepada daerah, pemberdayaan kemampuan masyarakat dan akses pengelolaan
terhadap sumber daya alam lokal menjadi isu penting yang sangat strategis di
dalam menciptakan integritas sosial, karena selama lebih daritiga decade
masyarakat selalu ditempatkan sebagai obyek, tidak diakui berbagai
eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi dari permasalahan tersebut
akhirnya menciptakan potensi yang sangat signifikan bagi proses disintegrasi.
e. Pengakuan
Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat untuk menjamin hak-hak
masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah
hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan
jaminan di dalam menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk
mengelola sumber daya alam di lingkungan dan milik mereka sendiri.
f. Pemberdayaan
Eksekutif, legislatif dan Peradilan untuk lebih meningkatkan representasi
kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu dilakukan rekomposisi keanggotaan
utusan daerah, di mana keterwakilan rakyat di daerah secara kongkret
diakomodasi melalui pemilihan anggota utusan daerah secara langsung oleh
rakyat. Sistem pemilihan langsung juga dilakukan untuk para pejabat public di
daerah khususnya gubernur, bupati/walikota. Penerapan penegak hokum harus
dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan ‘selective enforcement’
sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di masyarakat
No comments:
Post a Comment