Saturday, May 7, 2016

PENGERTIAN ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT




BAB I
PENDAHULUAN

1.1      LATAR BELAKANG
Perkembangan organisasi public dalam konteks administrasi negara telah demikian pesat, baik pada level perkembangan teoritis maupun dalam konteks empiris. Secara teoritis, teori organisasi telah berkembang tidak hanya pada segi organisasi formal dan juga sering dihubungkan dengan birokrasi. Teori organisasi telah berkembang mencakup beberapa variable, seperti system nilai dan sudut pandang organisasi dan dari sisi “dialectical points of view”. Kenyataannya dapat digunakan sebagai tanda kompleksitas diskusi dalam perkembangan teori organisasi.  Dari segi empiris, organisasi public menampilkan dirinya dalam berbagai kompleksitas yang berbeda dengan situasi pada era 1980-an yang banyak didominasi pada sector formal pemerintahan. Perkembangannya dalam kedudukan system informasi lebih mengarah pada spesialisasi. Personalia diorganisasikan untuk kepentingan manajemen menurut fungsi dan proyek. Organisasi system informasi sering melibatkan keputusan yang sulit. Faktor teknologis yang berkaitaan dengan efisiensi perangkat keras dan lunak mempengaruhi bentuk organisatoris yang bisa berbeda dengan filsafat organisasi dan manajemen. Manajemen system informasi mempunyai masalah khusus karena tingkat perubahan yang cepat dalam teknologi perangkat keras dan perangkat lunak dan karena adanya kebutuhan akan kemampuan teknis untuk bisa menilai usulam SIM.

1.2      RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Organisasi Publik dan privat?
2.      Lingkungan Organisasi Publik dan privat?
3.      Perbedaan Organisasi Publik dan privat?
4.      Ciri-ciri Organisasi Publik danprivat?





BAB II
PEMBAHASAN


2.1  PENGERTIAN ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT
2.1.1    PENGERTIAN ORGANISASI PUBLIK
Istilah public berasal dari bahasa Latin “of people” (yang berkenaan dengan masyarakat). Sasaran organisasi public ditujukan kepada masyarakat umum. Organisasi public adalah tipe organisasi yang bertujuan menghasilkan pelayanan kepada masyarakat, tanpa membedakan status dan kedudukannya
Organisasi Publik sering dilihat pada bentuk organisasi pemerintah yang dikenal sebagai birokrasi pemerintah (organisasi pemerintahan).   Organisasi Publik adalah organisasi yang terbesar yang mewadahi seluruh lapisan masyarakat dengan ruang lingkup Negara dan mempunyai kewenangan yang absah (terlegitimasi) di bidang politik, administrasi pemerintahan, dan hukum secara terlembaga  sehingga mempunyai kewajiban melindungi warga negaranya, dan melayani keperluannya, sebaliknya berhak pula memungut pajak untuk pendanaan, serta menjatuhkan hukuman sebagai sanksi penegakan peraturan.
Organisasi ini bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat demi kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi sebagai pijakan dalam operasionalnya. Organisasi berorientasi pada pelyanan kepada masyarakat tidak pada profit/laba/untung.

2.2.1     PENGERTIAN ORGANISASI PRIVAT
Istilah privat berasal dari bahasa Latin “set apart” (yang terpisah). Sasaran organisasi publik ditujukan  pada hal – hal yang ‘terpisah’ dari masyarakat secara umum.
Organisasi Swasta atau organisasi laba adalah organisasi yang juga bergerak di bidang pelayanan barang dan atau jasa yang kepemilikannya yang dibedakan dari kemampuanya membayar barang dan jasa tersebut sesuai dengan hukum pasar oleh satu orang atau lebih yang berorientasi pada keuntungan/laba. Dengan demikian, jelas organisasi ini mempunyai tujuan utamanya adalah untuk mencari laba atau untung sebesar-besarnya. Organisasi laba meliputi antara lain perusahaan-perusahaan berskala kecil hingga berskala besar baik bertaraf lokal,nasional maupun internasional. Ciri-cirnya antara lain Dimiliki oleh satu orang atau lebih, berorientasi pada keuntungan.


2.2  LINGKUNGAN ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT
2.2.1    LINGKUNGAN DALAM ORGANISASI PUBLIK

Didalam organisasi publik terdapat beberapa lingkungan yang mencerminkan organisasi publik, yaitu:
         Lingkungan otorisasi, artinya untuk melakukan sesuatu, organisasi publik terlebih dahulu harus mendapat izin atau legalitas.
         Sumber pendanaan dan wewenang diperoleh melalui lingkungan otorisasi tersebut. Misal, dalam pengajuan anggaran kepada DPR, untuk mendapat pengabsahan atas suatu rencana kegiatan pemerintah. Ini merupakan dasar bagi organisasi publik untuk membangun kapasitas organisasi dan kemampuan operasionalnya.
         Proses penciptaan nilai dalam organisasi publik, bukan didasarkan pada hukum penawaran dan permintaan pasar, melainkan melalui proses birokratis, yaitu izin dari lingkungan otorisasi.

2.2.2    LINGKUNGAN DALAM ORGANISASI PRIVAT

                        Selain terdapat beberapa lingkungan yang mencerminkan organisasi public, terdapat beberapa lingkungan yang mencerminkan organisasi privat juga, yaitu:
      Lingkungan otorisasi, misalnya dewan komisaris atau rapat umum pemegang saham yang menentukan pendanaan dan batas-batas wewenang perusahaan. Akan tetapi, tentu saja lingkungan otorisasi pada organisasi privat tidak sekompleks organisasi publik.
      Proses penciptaan nilai dalam organisasi privat, menitik beratkan proses pengambilan keputusan pada naik-turunya permintaan pasar, sehingga pengambilan keputusan biasanya berlangsung lebih cepat.


   2.3    PERBEDAAN ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT

Setelah kita pelajari pengertian dari masing-masing jenis organisasi di atas, maka kita dapat melihat perbedaan-perbedaan diantara ketiganya, yang antara lainnya adalah sebagai berikut:
1)      Orientasi
Organisasi laba berorientasi pada laba atau untung, sedang organisasi public berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat (tidak mencari untung). Sementara organisasi nirlaba hanya sebagai suatu organisasi yang didirikan untuk mendukung suatu isu di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter).
2)      Kepemilikan
Kepemilikan organisasi nirlaba tidak jelas siapa sesungguhnya ’pemilik’ organisasi apakah anggota, klien, atau donatur. Pada organisasi laba, pemilik jelas memperoleh untung dari hasil usaha organisasinya. Sementara pemilikan organisasi public adalah milik Negara yang dimana telah diatur oleh konstitusi.
3)      Dalam hal donatur
Organisasi nirlaba membutuhkannya sebagai sumber pendanaan. Berbeda dengan organisasi laba yang telah memiliki sumber pendanaan yang jelas, yakni dari keuntungan usahanya, sedangkan organisasi public didanai oleh pendapatan Negara atau daerah yang didapat dari pajak.
4)      Dalam hal penyebaran tanggung jawab
Pada organisasi laba telah jelas siapa yang menjadi Dewan Komisaris, yang kemudian memilih seorang Direktur Pelaksana. Sedangkan pada organisasi nirlaba, hal ini tidak mudah dilakukan. Anggota Dewan Komisaris bukanlah ’pemilik’ organisasi, sementara di organisasi public yang bertanggung jawab adalah Negara yang didelgasikan kepada pejabat atau orang tertentu untuk mengelolanya dan kalau tidak maka dikenai sanksi.


2.4 CIRI-CIRI ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT

Sekedar perbandingan, kita dapat melihat pendapat Baber mengenai perbadaan organisasi publik dan privat, yaitu:
1.      Organisasi Publik lebih banyak menghadapi masalah dalam implementasi keputusan.
2.      Organisasi Publik memperkerjakan lebih banyak pegawai dengan motivasi beragam.
3.      Organisasi Publik lebih memperhatikan bagaimana mengamankan peluang/kapasitas      yang ada.
4.   Organisasi Publik lebih memperhatikan usaha kompensasi kegagalan pasar.
5.      Organisasi Publik lebih banyak kegiatan dengan signifikan simbolis lebih besar.
Sebelum lebih jauh kita membahas tentang perbedaan antara ke jenis organisasi tersebut di atas, perlu kiranya kita sudah memahami secara baik pengertian yang juga mencakup tujuan dan ciri-ciri serta orientasi dari kedua jenis organisasi itu yang tentunya berbeda-beda. Dengan demikian kita akan dengan mudah mengetahui dan memahami dimana letak perbedaan dan persamaan dari kedua organisasi tersebut di atas.
Dalam hal ini, paling tidak ada empat (4) unsure yang mendorong atau mempengaruhi pengembangan organisasi, yaitu:
1.      Manusia/perilaku
Unsur ini penting karena aktivitas organisasi antarindividu atau antarkelompok, norma-norma informal, persepsi, peranm kepemimpinan, konflik dalam kelompok dan sebagainya.
2.      Teknologi
Secara luas teknologi berarti “penerapan pengetahuan untuk melaksanakan pekerjaan”.
3.      Tugas (task)
Efisiensi organisasi dapat dicapai dengan menyusun tugas dan pekerjaan secara sistematis.
4.      Struktur
Struktur digunakan untuk mengendalikan orgaanisasi dan membedakann bagian-bagiannya guna mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian, dalam hal kebutuhan akan system informasi yang lebih efisian dan dapat diandalkan dalam membuat keputusan manajemen, unsure utama yang berpengaruh adalah unsure teknologi, yaitu teknologi otomasi atau komputerasasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pengembangan organisasi yang dipicu oleh tersedianya teknologi otomasi atau teknologi computer tidak begitu saja dapat dilaksanakan hanya dengan pengetahuan dasar tentang perangkat kerasnya.

BAB III
PENUTUPAN

3.1  KESIMPULAN

Berdasarkan dari data diatas kami menyimpulkan bahwa: Istilah publik berasal dari bahasa Latin “of  people” (yang berkenaan  dengan masyarakat).  Sasaran organisasi publik ditujukan kepada masyarakat umum. Organisasi publik adalah tipe organisasi yang bertujuan menghasilkan pelayanan kepada masyarakat, tanpa membedakan status dan kedudukannya.
Organisasi swasta atau organisasi laba adalah organisasi yang juga bergerak di bidang pelayanan barang dan atau jasa yang kepemilikannya oleh satu orang atau lebih yang berorientasi pada keuntungan / laba. Dengan demikian, jelas organisasi ini mempunyai tujuan utamanya adalah untuk mencari laba atau untung sebesar-besarnya.
Mengenai perbedaan antara organisasi public dan swasta, ada beberapa dasar teoritis yang digunakan dalam merumuskan perbedaan tersebut, yaitu:
Pertama, penelitian membandingkan beberapa hasil tulisan yang membahas tentang organisasi public dan swasta.
Kedua, mengarahkan secara spesifik organisasi public dalam konteks administrasi negara. Proporsi yang diajukan pada sub-sub ini adlah klaim wilayah administrasi negara selain organisasi public ternyata mencakup juga organisasi swasta.
Ketiga, mendiskusikan kedua langkah tersebut dengan mempertimbangkan variable pokok mengenai variable lingkungan, variable system informasi dan ukuran tentang kinerja SIM dalam organisasi.



PENGERTIAN ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT




BAB I
PENDAHULUAN

1.1      LATAR BELAKANG
Perkembangan organisasi public dalam konteks administrasi negara telah demikian pesat, baik pada level perkembangan teoritis maupun dalam konteks empiris. Secara teoritis, teori organisasi telah berkembang tidak hanya pada segi organisasi formal dan juga sering dihubungkan dengan birokrasi. Teori organisasi telah berkembang mencakup beberapa variable, seperti system nilai dan sudut pandang organisasi dan dari sisi “dialectical points of view”. Kenyataannya dapat digunakan sebagai tanda kompleksitas diskusi dalam perkembangan teori organisasi.  Dari segi empiris, organisasi public menampilkan dirinya dalam berbagai kompleksitas yang berbeda dengan situasi pada era 1980-an yang banyak didominasi pada sector formal pemerintahan. Perkembangannya dalam kedudukan system informasi lebih mengarah pada spesialisasi. Personalia diorganisasikan untuk kepentingan manajemen menurut fungsi dan proyek. Organisasi system informasi sering melibatkan keputusan yang sulit. Faktor teknologis yang berkaitaan dengan efisiensi perangkat keras dan lunak mempengaruhi bentuk organisatoris yang bisa berbeda dengan filsafat organisasi dan manajemen. Manajemen system informasi mempunyai masalah khusus karena tingkat perubahan yang cepat dalam teknologi perangkat keras dan perangkat lunak dan karena adanya kebutuhan akan kemampuan teknis untuk bisa menilai usulam SIM.

1.2      RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Organisasi Publik dan privat?
2.      Lingkungan Organisasi Publik dan privat?
3.      Perbedaan Organisasi Publik dan privat?
4.      Ciri-ciri Organisasi Publik danprivat?





BAB II
PEMBAHASAN


2.1  PENGERTIAN ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT
2.1.1    PENGERTIAN ORGANISASI PUBLIK
Istilah public berasal dari bahasa Latin “of people” (yang berkenaan dengan masyarakat). Sasaran organisasi public ditujukan kepada masyarakat umum. Organisasi public adalah tipe organisasi yang bertujuan menghasilkan pelayanan kepada masyarakat, tanpa membedakan status dan kedudukannya
Organisasi Publik sering dilihat pada bentuk organisasi pemerintah yang dikenal sebagai birokrasi pemerintah (organisasi pemerintahan).   Organisasi Publik adalah organisasi yang terbesar yang mewadahi seluruh lapisan masyarakat dengan ruang lingkup Negara dan mempunyai kewenangan yang absah (terlegitimasi) di bidang politik, administrasi pemerintahan, dan hukum secara terlembaga  sehingga mempunyai kewajiban melindungi warga negaranya, dan melayani keperluannya, sebaliknya berhak pula memungut pajak untuk pendanaan, serta menjatuhkan hukuman sebagai sanksi penegakan peraturan.
Organisasi ini bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat demi kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi sebagai pijakan dalam operasionalnya. Organisasi berorientasi pada pelyanan kepada masyarakat tidak pada profit/laba/untung.

2.2.1     PENGERTIAN ORGANISASI PRIVAT
Istilah privat berasal dari bahasa Latin “set apart” (yang terpisah). Sasaran organisasi publik ditujukan  pada hal – hal yang ‘terpisah’ dari masyarakat secara umum.
Organisasi Swasta atau organisasi laba adalah organisasi yang juga bergerak di bidang pelayanan barang dan atau jasa yang kepemilikannya yang dibedakan dari kemampuanya membayar barang dan jasa tersebut sesuai dengan hukum pasar oleh satu orang atau lebih yang berorientasi pada keuntungan/laba. Dengan demikian, jelas organisasi ini mempunyai tujuan utamanya adalah untuk mencari laba atau untung sebesar-besarnya. Organisasi laba meliputi antara lain perusahaan-perusahaan berskala kecil hingga berskala besar baik bertaraf lokal,nasional maupun internasional. Ciri-cirnya antara lain Dimiliki oleh satu orang atau lebih, berorientasi pada keuntungan.


2.2  LINGKUNGAN ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT
2.2.1    LINGKUNGAN DALAM ORGANISASI PUBLIK

Didalam organisasi publik terdapat beberapa lingkungan yang mencerminkan organisasi publik, yaitu:
         Lingkungan otorisasi, artinya untuk melakukan sesuatu, organisasi publik terlebih dahulu harus mendapat izin atau legalitas.
         Sumber pendanaan dan wewenang diperoleh melalui lingkungan otorisasi tersebut. Misal, dalam pengajuan anggaran kepada DPR, untuk mendapat pengabsahan atas suatu rencana kegiatan pemerintah. Ini merupakan dasar bagi organisasi publik untuk membangun kapasitas organisasi dan kemampuan operasionalnya.
         Proses penciptaan nilai dalam organisasi publik, bukan didasarkan pada hukum penawaran dan permintaan pasar, melainkan melalui proses birokratis, yaitu izin dari lingkungan otorisasi.

2.2.2    LINGKUNGAN DALAM ORGANISASI PRIVAT

                        Selain terdapat beberapa lingkungan yang mencerminkan organisasi public, terdapat beberapa lingkungan yang mencerminkan organisasi privat juga, yaitu:
      Lingkungan otorisasi, misalnya dewan komisaris atau rapat umum pemegang saham yang menentukan pendanaan dan batas-batas wewenang perusahaan. Akan tetapi, tentu saja lingkungan otorisasi pada organisasi privat tidak sekompleks organisasi publik.
      Proses penciptaan nilai dalam organisasi privat, menitik beratkan proses pengambilan keputusan pada naik-turunya permintaan pasar, sehingga pengambilan keputusan biasanya berlangsung lebih cepat.


   2.3    PERBEDAAN ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT

Setelah kita pelajari pengertian dari masing-masing jenis organisasi di atas, maka kita dapat melihat perbedaan-perbedaan diantara ketiganya, yang antara lainnya adalah sebagai berikut:
1)      Orientasi
Organisasi laba berorientasi pada laba atau untung, sedang organisasi public berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat (tidak mencari untung). Sementara organisasi nirlaba hanya sebagai suatu organisasi yang didirikan untuk mendukung suatu isu di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter).
2)      Kepemilikan
Kepemilikan organisasi nirlaba tidak jelas siapa sesungguhnya ’pemilik’ organisasi apakah anggota, klien, atau donatur. Pada organisasi laba, pemilik jelas memperoleh untung dari hasil usaha organisasinya. Sementara pemilikan organisasi public adalah milik Negara yang dimana telah diatur oleh konstitusi.
3)      Dalam hal donatur
Organisasi nirlaba membutuhkannya sebagai sumber pendanaan. Berbeda dengan organisasi laba yang telah memiliki sumber pendanaan yang jelas, yakni dari keuntungan usahanya, sedangkan organisasi public didanai oleh pendapatan Negara atau daerah yang didapat dari pajak.
4)      Dalam hal penyebaran tanggung jawab
Pada organisasi laba telah jelas siapa yang menjadi Dewan Komisaris, yang kemudian memilih seorang Direktur Pelaksana. Sedangkan pada organisasi nirlaba, hal ini tidak mudah dilakukan. Anggota Dewan Komisaris bukanlah ’pemilik’ organisasi, sementara di organisasi public yang bertanggung jawab adalah Negara yang didelgasikan kepada pejabat atau orang tertentu untuk mengelolanya dan kalau tidak maka dikenai sanksi.


2.4 CIRI-CIRI ORGANISASI PUBLIK DAN PRIVAT

Sekedar perbandingan, kita dapat melihat pendapat Baber mengenai perbadaan organisasi publik dan privat, yaitu:
1.      Organisasi Publik lebih banyak menghadapi masalah dalam implementasi keputusan.
2.      Organisasi Publik memperkerjakan lebih banyak pegawai dengan motivasi beragam.
3.      Organisasi Publik lebih memperhatikan bagaimana mengamankan peluang/kapasitas      yang ada.
4.   Organisasi Publik lebih memperhatikan usaha kompensasi kegagalan pasar.
5.      Organisasi Publik lebih banyak kegiatan dengan signifikan simbolis lebih besar.
Sebelum lebih jauh kita membahas tentang perbedaan antara ke jenis organisasi tersebut di atas, perlu kiranya kita sudah memahami secara baik pengertian yang juga mencakup tujuan dan ciri-ciri serta orientasi dari kedua jenis organisasi itu yang tentunya berbeda-beda. Dengan demikian kita akan dengan mudah mengetahui dan memahami dimana letak perbedaan dan persamaan dari kedua organisasi tersebut di atas.
Dalam hal ini, paling tidak ada empat (4) unsure yang mendorong atau mempengaruhi pengembangan organisasi, yaitu:
1.      Manusia/perilaku
Unsur ini penting karena aktivitas organisasi antarindividu atau antarkelompok, norma-norma informal, persepsi, peranm kepemimpinan, konflik dalam kelompok dan sebagainya.
2.      Teknologi
Secara luas teknologi berarti “penerapan pengetahuan untuk melaksanakan pekerjaan”.
3.      Tugas (task)
Efisiensi organisasi dapat dicapai dengan menyusun tugas dan pekerjaan secara sistematis.
4.      Struktur
Struktur digunakan untuk mengendalikan orgaanisasi dan membedakann bagian-bagiannya guna mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian, dalam hal kebutuhan akan system informasi yang lebih efisian dan dapat diandalkan dalam membuat keputusan manajemen, unsure utama yang berpengaruh adalah unsure teknologi, yaitu teknologi otomasi atau komputerasasi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pengembangan organisasi yang dipicu oleh tersedianya teknologi otomasi atau teknologi computer tidak begitu saja dapat dilaksanakan hanya dengan pengetahuan dasar tentang perangkat kerasnya.

BAB III
PENUTUPAN

3.1  KESIMPULAN

Berdasarkan dari data diatas kami menyimpulkan bahwa: Istilah publik berasal dari bahasa Latin “of  people” (yang berkenaan  dengan masyarakat).  Sasaran organisasi publik ditujukan kepada masyarakat umum. Organisasi publik adalah tipe organisasi yang bertujuan menghasilkan pelayanan kepada masyarakat, tanpa membedakan status dan kedudukannya.
Organisasi swasta atau organisasi laba adalah organisasi yang juga bergerak di bidang pelayanan barang dan atau jasa yang kepemilikannya oleh satu orang atau lebih yang berorientasi pada keuntungan / laba. Dengan demikian, jelas organisasi ini mempunyai tujuan utamanya adalah untuk mencari laba atau untung sebesar-besarnya.
Mengenai perbedaan antara organisasi public dan swasta, ada beberapa dasar teoritis yang digunakan dalam merumuskan perbedaan tersebut, yaitu:
Pertama, penelitian membandingkan beberapa hasil tulisan yang membahas tentang organisasi public dan swasta.
Kedua, mengarahkan secara spesifik organisasi public dalam konteks administrasi negara. Proporsi yang diajukan pada sub-sub ini adlah klaim wilayah administrasi negara selain organisasi public ternyata mencakup juga organisasi swasta.
Ketiga, mendiskusikan kedua langkah tersebut dengan mempertimbangkan variable pokok mengenai variable lingkungan, variable system informasi dan ukuran tentang kinerja SIM dalam organisasi.



">

OTONOMI DAERAH



Otonomi daerah

Kebijaksanaan pemerintah pusat yang selama ini mengesankan adanya sistem pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik, pada dasarnya adalah faktor penjelas berkembangnya keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri dari wilayah NKRI. dampak dari reformasi total ini, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik. Apa yang digambarkan tersebut, tentu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Kepemimpinan politik dan pemerintahan yang dijalankan secara sentralistik oleh rezim Orde Baru adalah cikal bakal bagi terselenggaranya sistem pemerintahan yang tidak memberi kesempatan kepada daerah untuk maju dan berkembang. Dalam tataran reformasi, maka wajar bila terjadi perubahan pada salah satu substansi dari sistem pemerintahan sentralistik itu.
Berkembangnya wacana tentang perlunya memikirkan kembali desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia, dianggap relevan bukan hanya karena faktor reformasi semata. Jika kita merujuk kepada aturan main yang tertuang dalam konstitusi (UUD 1945), jelas bisa ditemukan bahwa desentralisasi tidak cuma konsep yang bersifat politis, tapi juga konsep yang anti-sentralistik. Hal inilah yang pada akhirnya membawa kita pada sebuah kesepakatan untuk merealisasikannya dalam wujud otonomi daerah. Berangkat dari argumen bahwa masalah otonomi adalah masalah masyarakat, perilaku hidup, perilaku aspirasi masyarakat setempat, maka apa yang dinamakan sebagai ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah semestinya bukan lagi merupakan fenomena politik yang menarik. Sebagai wujud nyata dari konsep desentralisasi, otonomi daerah adalah topik utama yang wajib dibicarakan dan diimplementasikan sedini mungkin. 
Mengakhiri ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tampaknya bukan hanya telah menemukan ruang yang tepat, tapi juga sekaligus menjadikannya sebagai kenangan politis masa lalu yang perlu dicatat oleh sejarah. Karakter hubungan antara pusat dan daerah yang terjadi ketika Orde Baru berkuasa, sangatlah miris. Pada saat itu, pemerintah pusat adalah segala-galanya dan memiliki berbagai senjata untuk mengebiri pemerintah daerah. Dalam pandangan Pratikno, sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian tersebut. Walaupun beberapa penjelasan lain memberikan kesimpulan yang tidak jauh berbeda, karakter ini jelas tidak dapat dibantah lagi kebenarannya. Otonomi daerah yang digembar-gemborkan Orba, kenyataannya belum diikuti political will para aktor pelaksananya. 
Semangat inilah yang mengongkritkan implementasi otonomi daerah di era reformasi ini, dan selayaknya harus mendapatkan dukungan yang memadai. Lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah,8 adalah bukti masih terdapatnya semangat yang kuat dan idealisme yang tinggi dari para penyelenggara negara untuk tidak sekedar mengurusi kekuasaannya semata. Di sisi lain dominasi pemerintah pusat yang selalu berhasil dalam mempolitisasi otonomi daerah, diyakini atau tidak, merupakan salah satu sebab belum terealisasinya otonomi daerah secara empirik. Upaya untuk mewujudkan otonomi bagi daerah dalam rangka negara kesatuan sedikit banyak ditentukan oleh “political configuration” pada suatu kurun waktu, menunjukkan betapa kuatnya posisi politik pemerintah pusat dalam mengendalikan jalannya pemerintahan secara nasional. 
Dalam pemikiran lain yang lebih praktis, Kimura Hirotsune menjelaskan tentang munculnya dua persepsi yang berlawanan tentang otonomi daerah. Pertama, di satu sisi, otonomi daerah dianggap akan memenuhi kebutuhan daerah yang selama ini mengalami kekecewaan akibat praktek sentralisasi kekuasaan birokrasi yang opresif selama masa 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto. Kedua, pada sisi yang lain, otonomi daerah justru sebaliknya dianggap akan membangkitkan semangat separatisme sehingga bila tidak bisa terkendalikan maka akan mengakibatkan krisis politik nasional.  Ungkapan bernada pesimis ini tentu bukan tanpa alasan mendasar. Pertama, konfigurasi politik di suatu negara yang tengah menuju demokrasi, hampir selalu didominasi oleh sifat kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya, stabilitas politik dan ekonomi tampak selalu dikedepankan, yang pada gilirannya menjadikan segala policy pemerintah selalu pasti bersifat sentralistik. Kedua, konfigurasi politik yang tidak diimbangi oleh adanya lembaga kontrol yang ketat, menjadikan setiap kebijakan pemerintah pusat selalu memperoleh pembenaran absolut. Ini berarti, pandangan Afan Gaffar di atas, membuktikan bahwa “political configuration” benar-benar merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap sukses-tidaknya implementasi otonomi daerah. 
Dalam tataran praktis, pandangan ini memberikan tawaran kepada kita, apakah otonomi daerah itu merupakan solusi, atau justru sebuah problem. Sebagai konsep yang sejak diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah sama sekali belum dioperasionalisasikan, jelas otonomi daerah bisa dikategorikan sebagai sebuah solusi terhadap fenomena penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik. Tetapi pada saat yang berbeda, yakni dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah –di mana pemerintah pusat tengah membiarkan proses demokratisasi berlangsung secara terbuka–, maka bisa jadi otonomi daerah telah berubah menjadi sebuah problem baru yang perlu segera dipecahkan. Ada 2 alasan politis yang bisa menjelaskan sosok otonomi daerah saat ini teramat rentan menjadi sebuah problem besar. Pertama, otonomi daerah tetap konsekwen dengan keharusan daerah untuk mandiri dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pendapatan asli daerah (PAD). Permasalahannya adalah tidak semua daerah 

                                                     Desentralisasi Politik 
 
Sentralisme rezim Orba, dari sudut pandang ekonomi, bisa dibuktikan dari besarnya produksi sumber daya alam yang mesti disetorkan ke pusat. Sementara dari sisi politik, sentralisme Indonesia bisa mewujud dalam berbagai macam bentuk; mulai dari pemaksaan konstitusi sampai pada pemangkasan-pemangkasan hak politik daerah. Setelah reformasi bergulir, setelah pembusukan sentralisme yang korup berhasil sedikit demi sedikit diungkap, maka bergaunglah otonomi daerah (seluas-luasnya). Bahkan sampai pula pada perdebatan tentang bentuk negara, federasi atau kesatuan. Namun, di sela-sela perdebatan itu kita tentu menginginkan suatu solusi yang adil. Bisa kita sepakati bahwa munculnya problem federasi adalah karena sentralisme; yakni ketidakadilan pusat pada daerah. Oleh karena itu, akar persoalan ini sesungguhnya adalah pada, bagaimana mengatasi persoalan ketidakadilan secara efektif dan proporsional. Ini dilakukan karena dalam negara federasi pun, jika sentralisme kekuasaan politik masih diemban pusat, maka jangan berharap akan ada keadilan. 
Otonomi daerah seluas-luasnya mungkin bisa dijadikan alternatif yang cukup baik untuk mengatasi persoalan itu. Namun tampaknya juga harus dimengerti bahwa konsep ‘otonomi seluas-luasnya’ sebetulnya hanya konsep yang diproduksi pemerintah Indonesia. Dalam dunia akademik, tidak pernah dikenal wacana ‘otonomi seluasluasnya’. Sedangkan kalimat yang paling dekat dasn representatif untuk mendeskripsikan konsep otonomi seluas-luasnya adalah devolution atau desentralisasi politik. Istilah ini populer di AS tahun 1994 ketika Richard P. Nathan menjulukinya sebagai Devolution Revolution, meski substansi sesungguhnya sudah dikenal lebih kurang 2 dekade yang lalu. Desentralisasi politik yang dimaksud ini adalah bagaimana mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal.
Jadi ia adalah kemampuan unit pemerintah yang mandiri dan independen. Dalam kondisi seperti ini, tentu saja pusat mesti melepas fungsi-fungsi tertentunya untuk menciptakan unit-unit pemerintahan yang otonom. Statusnya berada di luar kontrol langsung dari pemerintah pusat. Pemerintahan lokal yang otonom dan mandiri memiliki mensyaratkan hal-hal seperti berikut, bahwa pemerintah lokal mempunyai teritorium yang jelas, memiliki status hukum yang kuat untuk mengelola sumberdaya dan mengembangkan lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen. Ini tentu harus didukung oleh kebijakan yang menyiratkan bahwa kewenangan pemerintah pusat sangat kecil dan pengawasan yang dilakukannya lebih bersifat tak langsung. 
Denis Rondinelli (1981) mengatakan bahwa desentralisasi politik adalah peralihan kekuatan ke unit-unit geografis pemerintah lokal yang terletak di luar struktur komando secara formal dari pemerintahan pusat. Dengan demikian, desentralisasi politik menyatakan bahwa konsep-konsep pemisahan, dari berbagai struktur dalam sistem politik secara keseluruhan. Pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan serta dianggap sebagai level terpisah yang tidak memperoleh kontrol langsung dari pemerintah pusat. Pada saat yang sama, pemerintah lokal harus memiliki batas-batas geografis yang ditetapkan secara hukum dan jelas di mana mereka (unit-unit tersebut) menerapkan wewenangnya dan melaksanakan fungsi-fungsi publik. Dalam desentralisasi politik, pemerintah lokal juga harus mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan diri sebagai lembaga.
Pengertiannya adalah bahwa lembaga ini dianggap rakyat lokal sebagai organisasi yang menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhannya dan sebagai unit-unit pemerintah yang berpengaruh. Selanjutnya yang harus diingat adalah bahwa desentralisasi politik merupakan suatu rancangan di mana terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Pemerintah lokal memiliki kemampuan untuk saling berinteraksi dengan unit-unit yang lain dalam sistem pemerintahan yang merupakan bagiannya. 
             Desentralisasi politik juga merupakan cara untuk lebih mendekatkan pembangunan pada rakyat yang lebih mengetahui situasi dan kebutuhan mereka sendiri. Sedangkan menurut Lenny Goldberg, Come The Devolution, The American Propect, Winter (1996) agar tujuan itu bisa dicapai adalah dengan:
 
1.      Mengembalikan hak-hak sipil dan kebebasan sipil pada rakyat, 
2.      Pemerintah pusat memberikan hak pengelolaan dana pada pemerintah daerah, 
3.      Preferensi dari pusat atas sektor pembangunan harus fleksibel dengan preferensi dari daerah, 
4.      Pemerintah pusat harus dapat mengembangkan standar-standar baru yang dapat memperkuat tanpa mendikte.Mengapa demikian? Biasanya pemerintah pusat seringkali tidak memiliki kepercayaan pada kemampuan pemerintah daerah. Ini bisa ditunjukkan pada perlakuan terhadap SOP (standart operating procedures), atau di sini lebih dikenal dengan istilah Juklak/Juknis, yang sangat berlebihan. Realitasnya, Pemerintah daerah sering tidak dapat segera menjalankan program-program tertentu bila juklak/juknis belum turun dari pusat.
5.      Berusaha memberikan kekuasaan kepada rakyat. 
Desentralisasi politik dalam konteks operasionalnya adalah penegakan kedaulatan pada legislatif di daerah atas nama basis rakyatnya. Parameter dari penegakan ini adalah: 
  1. Political will pemerintah pusat dan derajat transfer kewenangan bagi daerah
  2. Derajat budaya, perilaku dan sikap yang kondusif bagi pembuatan keputusan dan administrasi yang decentralized 
  3. Kesesuaian kebijakan dan program yang dirancang bagi pembuatan keputusan dan manajemen yang decentralized 
  4. Derajat ketersediaan sumberdaya finansial, manusia dan fisik bagi organisasi yang mengemban tanggung jawab yang diserahkan.
Pada umumnya sistem nasional dibagi menjadi tiga tingkat dan dua sektor pemerintah lokal. Ada pusat-pusat nasional, propinsi atau ibukota yang bertindak sebagai perantara lokal. Lokal dibagi menjadi sektor-sektor pedesaan dan perkotaan walaupun pembagian seperti itu di banyak negara sekarang sering hanya merupakan sisa dari pertanian di masa lalu. Dalam beberapa negara, persyaratan-persyaratan khusus dibuat untuk pemerintahan lokal dari pusat-pusat perkotaan yang luas. Perkecualian terhadap tiga pola tingkatan adalah sistem pemerintahan militer, dengan kontrol langsung terhadap lokalitas-lokalitas, meski dewasa ini sistem pemerintahan militer sudah jarang. 
Mawhood (1987) misalnya secara tegas mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, the devolution of power from central to local government. Oleh karenanya dapat dimengerti, bila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijaksanaan desentralisasi sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability, dan local responsiveness. Di antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu. Dengan rumusan definisi dan tujuan desentralissai seperti dikemukakan di atas, para pendukung political decentralisasi perspektif percaya bahwa keberadaan kebijaksanaan desentralisasi akan mampu menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis, atau apa yang disebut oleh Vincent Ostrom sebagai the features of a system of governance that would be appropriate to circumstance where people govern rather than presuming that government govern(1991:6). Argumen dasarnya adalah, dengan konsep tersebut diasumsikan society akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sementara, pada sisi lain, pemerintah daerah sendiri, akan lebih responsif terhadap berbagai tuntutan yang datang dari komunitasnya.

                                              Definisi Good Governance
 
Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hamper di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat Negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat.
Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja sautu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu Negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memnuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan Good Governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh pihak. Seperti yang didefinisikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
Prinsip-prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip didalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
  1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengembalian keputusan, baik secara langsung, maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut di bangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
  1. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.


  1. Transparansi
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
  1. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
  1. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
  1. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
  1. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
  1. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
  1. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan social yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Pilar-pilar Good Governance
Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan public. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Negara
a.       Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil
b.      Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan
c.       Menyediakan public service yang efektif dan accountable
d.      Menegakkan HAM
e.       Melindungi lingkungan hidup
f.       Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik
  1. Sektor Swasta
a.       Menjalankan industri
b.      Menciptakan lapangan kerja
c.       Menyediakan insentif bagi karyawan
d.      Meningkatkan standar hidup masyarakat
e.       Memelihara lingkungan hidup
f.       Menaati peraturan
g.      Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat
h.      Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
  1. Masyarakat Madani
a.       Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi
b.      Mempengaruhi kebijakan public
c.       Sebagai sarana cheks and balances pemerintah
d.      Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
e.       Mengembangkan SDM
f.       Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

Agenda Good Governance
Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi:
  1. Agenda Politik
Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistem politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti:
a.       Amandemen UUD 1945 sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelengaraan pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
b.      Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat.
c.       Reformasi agrarian dan perburuhan
d.      Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI
e.       Penegakan supremasi hukum





  1. Agenda Ekonomi
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Untuk kasus Indonesia, permasalahan krisis ekonomi ini telah berlarut-larut dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Kondisi demikian ini tidak boleh dibiarkan berlanjut dan harus segera ada percepatan pemulihan ekonomi. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-prioritas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:
  1. Agenda Sosial
Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.
Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan Negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi.
Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang disertai kekejaman social luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah sampai pada titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan komunal dan keterbuangan sosial dengan segala variannya. Kasus-kasus pergolakan di Aceh dan Ambon adalah beberapa contoh dari masalah sosial yang harus segera mendapatkan solusi yang memadai.
Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian vertical maupun horizontal yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.

  1. Agenda Hukum
hukum merupakan factor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governance tidak akan berjalan mulus di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
Sementara itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan. Kenyataan demikian ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.
Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan good governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis. Langkah-langkah tersebut adalah:

a.       Reformasi Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tat penyelenggaran Negara. Untuk menata kembali sistem hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.
a.        Penegakan Hukum Syarat mutlak pemulihan kepercayaan rakyat terhadap hukum adalah penegakan hukum. Reformasi di bidang penegakkan hukum yang bersifat strategis dan mendesak untuk dilakukan adalah; pertama, reformasi Mahkamah Agung dengn memperbaiki sistem rekrutmen (pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan yang lebih menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Perbaikan sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh Komisi Yudisial Independen yang anggotanya terdiri dari mantan hakim agung, kalangan praktisi hukum, akademisi/cendekiawan hukum dan tokoh masyarakat. Kedua, reformasi Kejaksaan, untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat ini khususnya dalam menangani kasus-kasus KKN san pelanggaran HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung dan pembantunya sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadi yang bersangkutan. Selain itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen Pengawas Kejaksaan.


c.       Pemberantasan KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketigahak di atas tidak dipenuhi secara memadai.
Sedangkan upaya penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan Independent Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, memperkenalkan hakim-hakim khusus ysng diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hoek) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh.
d.      Sumbangan Hukum dalam Mencegah dan Menanggulangi Disintegarsi Bangsa Pengakuan identitas terhadap nilai-nilai local, pemberian kewenangan dan representasi yang lebih luas kepada daerah, pemberdayaan kemampuan masyarakat dan akses pengelolaan terhadap sumber daya alam lokal menjadi isu penting yang sangat strategis di dalam menciptakan integritas sosial, karena selama lebih daritiga decade masyarakat selalu ditempatkan sebagai obyek, tidak diakui berbagai eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi dari permasalahan tersebut akhirnya menciptakan potensi yang sangat signifikan bagi proses disintegrasi.
e.       Pengakuan Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di lingkungan dan milik mereka sendiri.
f.       Pemberdayaan Eksekutif, legislatif dan Peradilan untuk lebih meningkatkan representasi kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu dilakukan rekomposisi keanggotaan utusan daerah, di mana keterwakilan rakyat di daerah secara kongkret diakomodasi melalui pemilihan anggota utusan daerah secara langsung oleh rakyat. Sistem pemilihan langsung juga dilakukan untuk para pejabat public di daerah khususnya gubernur, bupati/walikota. Penerapan penegak hokum harus dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan ‘selective enforcement’ sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di masyarakat



Diunggulkan

OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah bangsa yang direkayasa dan diciptakan sedemikian rupa oleh sistem ketidak...